Buku telah disepakati sebagai sarana yang sangat penting bagi anak untuk mengembangkan imajinasi, daya fantasi, maupun kreativitas anak. Sayangnya, kehadiran televisi (TV) sedikit banyak telah menumpulkan potensi-potensi tersebut. Hal itu dikemukakan Prof. Rhonda M. Bunbury, pemerhati pendidikan anak dari Australia. Ia menyodorkan sederet penelitian yang menunjukkan bahwa TV telah menjadi sarana “pengganti” berbagai kebiasaan yang sebelumnya dilakukan anak untuk mengisi waktu luangnya, seperti membaca buku. Perubahan sikap itu ternyata sangat berpengaruh terhadap kemampuan membaca anak (reading skill). Apabila kemampuan membaca anak rendah, maka hal itu berbanding lurus dengan prestasi anak di bidang akademis.

Menurut penelitian Starkey dan Swinford (1974) semakin sedikit seorang anak melewatkan waktu luangnya untuk menonton TV, semakin sedikit tingkat kemampuan membaca anak. Disetujui pula oleh Takahashi Katsuo, seorang pembuat kartun/animasi anak-anak di Jepang, bahwa salah satu dampak menonton TV adalah hilangnya kebiasaan membaca.

Selain itu, dampak negatif lain yang ditimbulkan TV pada anak antara lain:

1. Memuncukan perilaku agresif, prestasi akademik yang jelek pada anak, dan anak sulit mengekspresikan diri.

2. Anak menjadi kurang kooperatif dan sensitif kepada yang lain.

3. Bila bermain, anak-anak lebih sering agresif daripada kreatif dan konstruktif.

4. Anak akan kesulitan dalam berbaur dengan orang di sekitarnya (cenderung asosial).

5. Anak menjadi “tidak mampu” mendengarkan cerita dan yang lebih parah anak tidak akan mendengarkan, bila Anda orangtua berbicara kepadanya.

6. Anak-anak yang menyaksikan TV sebelum sekolah dapat menurunkan daya tangkap anak-anak akan pelajaran.

Setelah melihat daftar negatif di atas, apakah orangtua akan begitu saja membiarkan TV sebagai sarana “pengganti” seperti waktu bermain, istirahat/tidur, membaca cerita, mempunyai waktu berjalan-jalan dan menikmati makan bersama keluarga? Seminimal mungkin jangan sampai terjadi. Lantas apa yang bisa dilakukan oleh orangtua untuk meminimalisir hal tersebut? Diharapkan para orangtua mau:

1. Membangun kebiasaan menonton TV dengan baik sejak dini. Ini menyangkut disiplin waktu dan jarak menonton.

2. Menyeleksi program TV yang dihadirkan media massa. Jika ada yang kurang cocok, jangan menyalakan pesawat TV.

3. Ajari anak mematikan TV bila program yang dipilih sudah berakhir.

4. Cobalah memilih, melihat, dan mendiskusikan bersama anak Anda mengenai program yang dipilih.

5. Ajak anak membuat aturan yang masuk akal seperti:

  • Batasan-batasan waktu untuk menyaksikan TV.
  • Tidak boleh nonton TV sebelum menyelesaikan tugas-tugas sekolah.
  • Tidak menonton TV sambil makan.
  • Tidak menonton TV sebelum sekolah.

6. Dalam menyaksikan TV, usahakanlah Anda terlibat di dalamnya. (Jangan biarkan anak menonton TV tanpa ditemani)

7. Mungkin di sekolah, anak Anda sering mendapat “tekanan” dari teman-temanya untuk menyaksikan program tertentu. Mungkin Anda bisa menyaksikan program itu bersama anak Anda, dan coba jelaskan mengapa program tersebut tidak pantas ditonton. Dukunglah anak Anda untuk berani menentang tekanan-tekanan itu.

8. Bantu anak mengembangkan minat secara seimbang antara tontonan seni, fantasi, laga, olahraga, dan seterusnya.

Untuk mengurangi dampak negatif TV terhadap perkembangan anak, setiap keluarga harus punya aturan khusus untuk menonton TV. “Kita yang harus mengatur bagaimana kita menonton televisi, bukan televisi yang mengatur kita,” kata Bu Kasur, pendidik anak-anak. Apabila setiap orangtua bisa konsisten untuk melakukan saran-saran di atas, maka dampak negatif dari kotak kaca (TV) pun bisa dikurangi. Selamat mempraktikkan, Tuhan Yesus memberkati…

Sumber:

Sekolah Alternatif untuk Anak

(Belajar Bersama Televisi)

Penerbit Buku Kompas

Jakarta, Februari 2002

Penulis:

Diyah Ariyani, S.IP.

Alumni Universitas Airlangga

Guru kelas SDKr. Masa Depan Cerah

Pimred Newsletter SDKr. MDC

Share this entry