Menjadi guru selama lebih dari delapan tahun membawaku pada pengalaman-pengalaman yang selalu baru. Profesi ini mengerjakan begitu banyak hal. Mengajar? Itu pasti. Namun, ada banyak tuntutan-tuntutan lain, misalnya guru juga harus mampu untuk menjadi polisi/ detektif saat muncul masalah. Guru uga harus mampu menjadi perawat saat ada siswa yang sakit. Menjadi komunikator atau public relation yang baik juga diperlukan saat berhadapan dengan orangtua. Menjadi tim EO (event organizer) juga harus bisa, ditambah dengan urusan-urusan administrasi lain sebagai guru. Intinya, profesi ini cukup unik dibandingkan dengan profesi yang lain (menurutku).
Aku pernah mendengar bahwa guru yang baik adalah guru yang mampu menyentuh hati murid-murid yang diajarnya dan menjadi inspirasi yang baik bagi kehidupan muridnya. Meski di tingkat sekolah dasar adalah tempat di mana mereka belajar tentang otoritas, namun aku berpenda pat bahwa seorang guru juga harus bisa menjadi teman yang baik mengingat kebanyakan siswa yang kudidik ini mendapatkan sedikit perhatian dari orangtua karena kesibukan mereka. Belum lagi perkembangan teknologi canggih yang sudah merasuk dalam kehidupan anak-anak SD dan itu memerlukan perhatian khusus dalam penanganannya.
Salah satu momen yang tidak akan kulupakan adalah saat aku mengajar Stephanie Liem di kelas 3. Stephanie berasal dari keluarga yang baik dan menyenangkan. Kedua orangtuanya pun cukup concern dengan kedua putrinya. Bagaimana aku bisa tahu? Itu karena aku pernah pergi bersama mereka. Stephanie termasuk salah satu siswa yang deep thinking. Begitu banyak pertanyaan-pertanyaan tingkat advance yang diajukan oleh seorang anak SD yang tidak akan mungkin kutanya kan saat aku seusianya. Pertanyaannya itu ditanyakan baik itu di tengah-tengah pelajaran, maupun saat senggang di jam istirahat.
Tak jarang pula ia menghubungiku di luar jam sekolah untuk pertanyaan-pertanyaan sulitnya. Salah satu contohnya adalah “Ma’am, Tuhan kan tahu kalau manusia akan jatuh ke dalam dosa, mengapa Tuhan izinkan Iblis ada? Seharusnya Tuhan kan gak perlu izinkan ada Iblis? Kalau perlu lblis dimusnahkan saja.” Aku cukup terperanjat dengan komentarnya yang saat itu dia masih duduk di kelas 3. Saat itu bukan hal yang mudah untuk menjawab pertanyaannya dengan kalimat yang sederhana yang mudah dimengertinya. Kupikir, daripada kujawab salah dan tidak memuaskannya, aku arahkan dia untuk bertanya pada guru agamanya.
Jumat, 25 November 2005, Stephanie menghubungiku, ia bercerita tentang telinganya yang sakit karena infeksi. Ada cairan dalam telinganya dan kemungkinan cairannya bisa keluar jika berenang. Aku katakan kepadanya bahwa aku akan berdoa supaya telinganya sembuh. Tidak lama berselang, telinganya pun sembuh. Ah… ikut senang aku mendengarnya. Tapi, tidak selamanya juga hubunganku dengan Stephanie berjalan dengan “baik”. Suatu ketika, dia mengirim SMS, namun entahlah kenapa hari itu aku kehabisan pulsa atau ada kesalahpahaman, maka SMS-nya tidak kubalas. Kemudian dia kirim SMS seperti ini: ” Tuh kan! Ma’am gak balas. Kalo Maam gak merasa salah ya sudah. Katanya Ma’am yang dapat menilai kita adalah orang lain. Gimana-gimana pokoknya Ma’am yang salah sama Stephie (titik).” Itu terjadi pada hari Sabtu, 25 Maret 2006. Wow, I was shocked…!
Di akhir tahun ajaran setelah acara Thanksgiving Night 2006, Stephie menangis sesenggukan ditemani oleh mamanya. Mamanya katakan, Stephie ini nangis karena gak mau berpisah dengan gurunya. Oh… mengharukan… Aku katakan kepadanya, sekalipun aku bukan lagi wali kelasnya, dia tetap bisa sharing denganku kapan saja dia mau.
Minggu, 11 Juni 2006 dia mengirim SMS “Thanks! You are the best!” Setelah naik ke kelas 4, 5, dan 6, intensitas kami dalam berkomunikasi memang tidak sesering dulu, namun kapan pun dia mau “curhat” aku selalu berusaha menyediakan waktu di sela-sela kesibukanku.
Dan puncaknya adalah, ketika Stephie duduk di kelas 6, dia sering mengikuti lomba story telling. Kamis, 15 Januari 2009, sekitar iam 12.30, Stephanie Liem tiba-tiba masuk ke ruang guru dan memintakıl untuk pergi ke ruang media di lantai tiga. “Untuk apa, Steph?” tanyaku. “Sudah deh Ma’am, ikut aja ke atas.” Sesampai di ruang media, aku melihat empat orang anak sedang menekuni tugasnya menghafalkan sebuah cerita yang telah mereka susun sebelumnya. Stephanie berkata, “Ma’am, tolong aku untuk menghafalkan isi kertas ini untuk lomba story telling di Plasa Tunjungan nanti malam.
Aku menulis cerita tentang Ma’am Diyah. Coba baca deh, Ma’am. Dan bantu aku jika ada yang salah.”
Begitu aku melihat kertas yang dia berikan kepadaku, aku merasa tidak percaya dengan apa yang tertulis di kertas itu. Inilah yang dia tulis tentang aku…
The Most Faithful Friend
Good morning everyone. My name is Stephanie Liem. I’m from MDC Christian Elementary School. Now I’m going to tell you about the most faithful friend I have ever had.
First of all, for me a faithful friend is a loyal friend that always accompanies me when I’m sad or happy. May be some of you will think I will tell about my friends or my pets. Well, you’re all wrong!
I’m going to tell you about my teacher that always helps me when I have a problem. Her name is Ma’am Diyah. She was my teacher when I was in the 3rd grade. Eventhough I have grown up and now I am in the 6th grade, she still wants to accompany and help me every time I need her. The things I like about her are she’s patient, she pays attention to me, she understands me, and she wants to listen to my problem.
When I was in the 3rd grade I was still very silly and sissy. But she was always patient when I cried and did silly things that caused more problems not only to me but also her. Then when I was in the 4th grade I had to deal with a brand new teacher. I didn’t know anything about her. In my first month in the 4th grade I felt so uncomfortable. When I said “Hello” to my teacher, she didn’t reply. I told all of this to Ma’am Diyah. And eventhough | know she’s busy, she still wanted to help me. She told my 4th grade teacher about what I didn’t like about her, and that teacher changed and act to me.
If I had problems at home and I called her at night (bed time) she still wanted to answer it and calmed me down. Then when I had a problem at class (gym class) with my teacher and friends, I went to her class while she was teaching. Oh why… why… I did such embarassing thing! But some how I was not emberrased. May be they think “Why is this senior disturbing my class?” I cried that day and her students looked at me in a weird face. But she still wanted to talk to me. She took me to my class teacher and left her students.
I’m very blessed and thankful that God gave me a teacher that cares for me and can understand me the way I am now. Thank you for listening to my story. Hope you have a good day. God bless you.
Dengan perasaan masih tidak percaya, aku pun menmbantunya semampuku termasuk ikut mempersiapkan slide presentasinya. Aku yakin karena kemampuan bahasa Inggrisnya yang bagus, akhirnya dia berhasil meraih juara Il. Sayangnya, aku tidak dapat hadir untuk menyaksikan dia mempresentasikan ceritanya di Plasa Tunjungan.
Keesokan harinya, saat bertemu di sekolah kuucapkan selamat sambil kupeluk badannya yang tingginya yang sudah melampaui diriku. Wajahnya memerah, tersipu malu, campur aduk dengan perasaan bangga yang ada dalam dirinya. Lebih-lebih diriku, aku sangat tidak menyangka, bukan karena kemenangannya, karena dia memang sering memenangkan kompetisi Bahasa Inggris, namun lebih ke pemilihan temanya.
Selain Stephie, ada Dea yang juga istimewa di mataku. Kami menyebutnya “eksentrik” karena gayanya yang cukup tomboy. Saat di kelas 3, Dea sekelas dengan Stephie. Dea adalah murid yang smart juga deep thinker sama seperti Stephie. Suatu kali, dia ingin bicara denganku dan belum habis ceritanya dia sudah meneteskan air matanya. Ini cukup mengagetkan, karena Dea adalah tipe anak yang tidak mudah menangis. Ternyata, masalahnya adalah dia takut kehilangan mamanya, takut jika mamanya meninggal. Aku terkejut sekali, padahal yang kutahu saat itu mamanya tidak sedang sakit.
Dea sangat sayang kepada mamanya, tapi di sisi lain dia merasa jengkel dengan mamanya karena hampir setiap hari dalam minggu-minggu tersebut dia berselisih paham dan berkonfrontasi dengan mamanya. Namun, Dea sadar bahwa itu karena mamanya sayang kepadanya. Hanya saja, dia tidak bisa menerima sikap mamanya pada saat marah. Aku pegang tangannya dan aku usap air matanya. Aku memahami perasaannya karena aku pun pernah menjadi seorang remaja. Aku mencoba memberikan nasihat yang bisa diterimanya. Setelah berbicara panjang lebar, akhirnya Dea mengerti dan kemudian ia mengucapkan terima kasih lalu kembali ke kelasnya. Keesokan harinya, Dea sudah terlihat ceria kembali seperti biasanya.Dan hampir sama seperti Stephie, sampai dia kelas 6 jika ada waktu, kami pasti akan curhat atau ngobrol bersama.
Wow.. God, inikah salah satu reward sebagai seorang guru? Inikah yang dimaksud dengan menyentuh hati seorang murid? Aku bahkan sudah melupakan segala hal yang pernah Stephie lakukan. Aku pun hanya berusaha menjadi teman yang baik bagi Dea. Tapi, ternyata mereka mengingatku dan tetap mengundangku menjadi salah satu teman dalam hidup mereka. Aku percaya bahwa apa yang aku lakukan ini telah menyentuh kehidupan mereka. Aku tidak mengharapkan bahwa mereka akan mengingat segala apa yang telah ulakukan, namun aku akan tetap mengingat mereka yang telah memotivasiku untuk menyentuh hati setiap murid yang kudidik. Thanks to God for giving them as my students.
(Stephie, Diyah, Dea)
Diyah Ariyani, S.IP.
Quote : Hidup adalah pencapaian tanpa henti.
Pesan : Jadilah guru yang menyentuh hati anak dan membawa perubahan bagi sekitar.