“Dengarlah hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.”

Sahabat MDC, ayat firman TUHAN di atas merupakan isi dari shema orang Israel. Mungkin ada di antara Bapak, Ibu, Saudara yang bertanya-tanya “Apa yang dimaksud dengan shema? Shema dapat dikatakan sebagai tugas yang dimiliki oleh orang tua untuk membentuk kepribadian anak sesuai dengan ketetapan Allah. Bagi orang Israel yang telah memiliki anak pada waktu itu, shema merupakan perintah wajib yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Ada baiknya jika kita melihat sejenak praktek pendidikan anak pada zaman Perjanjian Lama sehingga kita bisa melihat betapa pentingnya shema tersebut dan apa relevansinya bagi kehidupan kita di masa kini.

Masyarakat Israel pada zaman Perjanjian Lama diberikan dasar pendidikan yang tepat, khususnya setelah mereka memasuki Tanah Perjanjian. Selama kehendak Allah untuk mendidik anak dipatuhi oleh orang-orang Israel, maka mereka memperoleh keberhasilan. Mereka bertumbuh menjadi bangsa yang besar dan banyak pahlawan-pahlawan gagah perkasa muncul dari antara mereka. Bukan hanya itu, ladang dan ternak orang-orang Israel memiliki hasil yang berlipat kali ganda.

Bangsa Israel mengerti bahwa tugas pendidikan anak adalah tugas yang sangat krusial atau penting bagi orang tua. Baik di rumah maupun di ladang, anak-anak mendampingi orang tuanya dan orang tua memiliki waktu yang cukup untuk menjelaskan asal-usul bangsa mereka, mengajarkan ketetapan-ketetapan Allah, menanamkan nilai-nilai moral, cita-cita akan masa depan serta menumbuhkan harga diri anak sebagai anggota dari bangsa atau umat pilihan Allah. Alhasil, anak-anak akan meneruskan semangat juang dan disiplin hidup yang ditunjukkan oleh orang tua mereka.

Namun keberhasilan orang Israel dalam mendidik anak-anaknya hanya bertahan sekitar 100 atau 200 tahun saja. Lama-kelamaan bangsa Israel mulai mengikuti irama kehidupan bangsa-bangsa lain yang mayoritas adalah orang yang tinggal di kota-kota.

Suasana kehidupan di kota tentu berbeda dengan suasana kehidupan di desa. Kehidupan di kota membuat orang tua sibuk dengan pekerjaannya sendiri yang tidak melibatkan anak. Anak-anak semakin kehilangan kesempatan yang sangat berharga untuk bersekutu dengan orang tua mereka. Tidak heran jika mereka mencari teladan tidak lagi pada figur ayah atau orang tua melainkan pada figure yang lain. Semangat nasionalisme mereka pudar karena orang tua tidak menyempatkan diri lagi untuk menceritakan asal mula bangsa mereka dan juga kisah-kisah kepahlawanan yang patut diteladani. Tujuan hidup orang Israel telah menyimpang dari masa depan yang telah dipersiapkan Allah kepada masa kini yang dipenuhi oleh hal-hal yang bersifat materi.

Sahabat MDC bukankah kondisi seperti itu juga yang harus kita hadapi hari-hari ini. Orang tua dituntut untuk dapat mendidik anak-anaknya dengan baik di tengah kurangnya waktu karena himpitan pekerjaan yang begitu besar intensitasnya. Hal tersebut menyebabkan sebagian orang tua harus menanggung kepedihan dan kesengsaraan karena gagal memberikan pembinaan yang baik kepada anak-anak mereka. Meskipun begitu, tetap ada juga sebagian orang tua yang berhasil mendidik anaknya meskipun mereka memiliki kesibukan yang tidak sedikit.

Mengacu pada pola pendidikan anak-anak Israel atau yang disebut juga dengan shema, ada beberapa pokok penting yang perlu kita pahami pada waktu kita mendidik anak-anak kita:

* Pokok penting yang pertama adalah SIAPA yang bertugas mendidik anak.

Tugas mendidik anak yang paling utama diemban oleh orang tua, dalam hal ini ayah dan ibu. Hal itu tersirat lewat kata “engkau” yang disebutkan beberapa kali dalam Ulangan 6:4-9. Dengan demikian, orang tua harus menyediakan waktunya yang terbaik untuk mendidik anak, khususnya di dalam keluarga. Namun, dewasa ini peran utama orang tua sebagai pendidik anak telah tergeser. Penyebabnya tidak lain adalah orang tua itu sendiri. Banyak orang tua, terutama yang tinggal di kota, telah menyerahkan tanggung jawabnya untuk mendidik anak kepada pihak sekolah. Tidak heran jika sekolah, tanpa penyelidikan terlebih dahulu, seringkali dijadikan sasaran kecaman dan kemarahan orang tua jika sang anak tidak berperilaku baik ataupun tidak memperoleh hasil yang memuaskan dalam proses pendidikan. Perlu diingat bahwa sekolah hanyalah institusi sekunder atau sebagai pendamping orang tua dalam mendidik anak. Namun, aktor utama dalam mendidik anak tetaplah orang tua.

* Pokok penting yang kedua dalam mendidik anak adalah ruang dan waktu pendidikan.

Jika kita melihat dari Ulangan 6:4-9, sesungguhnya orang tua dapat mendidik anaknya di mana saja dan kapan saja, baik ketika sedang duduk di rumah, ketika dalam perjalanan, ketika berbaring, ketika bangun dan lain sebagainya. Dengan demikian, tidak ada batasan waktu dan ruang bagi orang tua untuk mendidik anaknya. Sebagai contoh, pada waktu itu anak laki-laki di Israel dapat belajar sesuatu yang berharga di ladang. Pagi-pagi benar, anak-anak lelaki mengikuti ayahnya pergi ke ladang. Ketika mereka melihat sang ayah sedang mencangkul atau beternak, mereka pun menirukan hal tersebut. Pada saat sang ayah melihat bahwa anak laki-lakinya menirukan pekerjaan seperti apa yang dilakukannya, ia akan memberitahukan pada anaknya tersebut bahwa hal itu harus dilakukan sebagai ketaatan kepada perintah Allah untuk mengusahakan bumi dengan segala isinya yang adalah ciptaan dan milik Allah. Di tempat yang lain, jika seorang anak perempuan sedang belajar membuat roti atau memasak di dapur, ia diberi tahu bahwa semuanya itu terjadi dalam rangka menaati perintah Allah agar manusia memelihara hidupnya dengan sehat. Dari sini kita melihat bahwa sejak usia dini, seorang anak di Israel sudah dididik dengan teladan dan ditanamkan suatu prinsip hidup bahwa segala pekerjaan mempunyai hubungan yang erat dengan ketaatan kepada Allah.

Sahabat MDC, bagi saudara yang saat ini telah berkeluarga dan dikaruniai anak juga bagi saudara yang akan berkeluarga dan akan memiliki anak, satu hal harus kita ingat bahwa Tuhan telah memberikan sebuah mandat penting bagi kita, yaitu agar kita mendidik anak-anak yang telah dan akan Tuhan percayakan pada kita. Hari-hari ini ada banyak ayah dan ibu yang berkata, “Kami sibuk sepanjang hari dan tidak punya waktu untuk mendidik anak-anak. Jadi, biar guru di sekolah dan guru les saja yang mendidik anak-anak. Kami yakin mereka dapat membuat anak kami menjadi pintar dan baik sikapnya.” Sahabat MDC, apakah pendapat tersebut salah? Tidak, saya percaya bahwa guru di sekolah dan guru les dapat mendidik seorang anak menjadi anak yang pintar dan baik sikapnya. Tapi, usaha mereka tidaklah mungkin maksimal. Seperti yang saya singgung sebelumnya, orang tua adalah penerima mandat ilahi untuk mendidik anak. Oleh karenanya, orang tualah yang memegang peranan paling besar untuk membentuk anak menjadi pribadi yang berpengetahuan dan berkarakter bagus dalam hidupnya. Itu berarti orang tua harus menyediakan waktu di tnagh segala kesibukannya untuk mendidik anak. Tidak harus dalam suasana yang kaku. Pada saat anak akan beristirahat di malam hari, sambil berbaring di atas tempat tidur, ayah dan ibu dapat bercerita banyak hal yang menarik kepada anak-anaknya. Jika momen tersebut dimanfaatkan dengan baik, sangat terbuka bagi ayah dan ibu untuk mengajarkan nilai-nilai moral dan kebenaran firman Tuhan kepada anak-anaknya. Selalu ada waktu dan tempat yang tepat bagi ayah dan ibu untuk mendidik anak-anaknya. Pertanyaannya adalah maukah kita sebagai orang tua meluangkan waktu yang berharga, walau sesingkat apapun, untuk mendidik anak-anak kita?

* Pokok penting yang ketiga dalam mendidik anak adalah tujuan pendidikan itu sendiri.

Dalam bagian awal Ulangan 6:4-9 dituliskan sebagai berikut, “Dengarlah hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu.” Kalimat tersebut mengungkapkan bahwa ajaran yang diberikan oleh orang tua pada anak-anaknya haruslah berfokus pada pengenalan pribadi anak akan Allah yang benar. Dengan demikian, sang anak akan dimampukan untuk dapat mengasihi Allah dengan seluruh hidupnya. Hal ini berpadanan dengan apa yang diungkapkan Yesus mengenai hukum yang terutama dan pertama yaitu kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu.

Pertanyaannya sekarang adalah, “Masih relevankah tujuan pendidikan tersbut bagi anak-anak kita yang hidup pada saat ini?” Jawabannya singkat, yaitu “masih”, bahkan semakin relevan. Kita sadar bahwa saat ini kita hidup di zaman yang semakin berkembang di mana segala macam informasi dapat diakses dengan mudah dan hal ini berlaku pula bagi anak-anak. Kekerasan, pornografi, dan cerita horror adalah contoh-contoh informasi yang sering diterima oleh anak baik dari televisi, internet, games dan media lainnya. Semuanya itu bukanlah informasi yang pantas dikonsumsi oleh anak. Jika hal ini dibiarkan terus, akan berdampak buruk bagi pola pikir, tingkah laku, dan juga masa depan anak itu sendiri. Oleh karenanya, tidak ada jalan lain bagi orang tua selain mendidik anaknya untuk hidup takut akan Allah dan melakukan segala ketetapan-Nya. Namun, hal tersebut tidak akan terwujud jika anak tidak diajarkan untuk mengenal dan mengasihi Allah sejak usia dini oleh orang tuanya.

Sahabat MDC, anak-anak adalah harapan kita untuk menciptakan suatu generasi masa depan yang lebih baik dan hal itu dimulai dari diri kita yang telah dan akan menjadi orang tua, untuk mengambil peran sentral sebagai pendidik anak, tahu tujuan pendidikan yang benar sesuai firman Tuhan dan juga melatih anak sejak dini untuk mengenal dan mengasihi Allahnya. Allah yang memberikan kepercayaan, Allah pula yang akan menyertai setiap kita sebagai orang tua untuk dapat mendidik anak-anak kita dengan benar. Amin. (Joseph Heryawan)

Share this entry