Sebuah penggalan pepatah bijak mengatakan, “be careful of your character, for your character becomes your destiny”. Jika diterjemahkan, arti pepatah tersebut berbunyi demikian, “Berhati-hatilah dengan karaktermu, karena karaktermu akan menentukan nasibmu.” Sadar atau tidak sadar, sesungguhnya apa yang terjadi di dalam hidup seseorang, termasuk diri kita, merupakan buah dari karakter yang melekat pada diri kita.

Acapkali terdengar ungkapan bahwa baik atau buruknya karakter seseorang merupakan warisan atau bawaan sejak lahir yang tidak dapat diubah. Pandangan tersebut tentu saja keliru. Mengapa? Karena karakter yang dimiliki oleh manusia tidak bersifat statis tetapi dinamis. Itu sebabnya kita bisa melihat bahwa ada orang yang dulunya jahat sekarang menjadi baik. Sebaliknya, ada orang yang dulunya baik tapi kemudian berubah menjadi jahat. Menyikapi keberadaan karakter yang dinamis, maka pendidikan karakter memiliki peluang bagi penyempurnaan diri manusia (Doni Koesoema, 2007). Dengan kata lain, pendidikan karakter memainkan peranan penting dalam mengarahkan sekaligus menguatkan seseorang untuk memiliki karakter yang baik dalam hidupnya.

Sebelum melangkah lebih jauh dalam pembicaraan tentang pendidikan karakter, kita perlu mengetahui terlebih dahulu arti dari karakter dan definisi dari pendidikan karakter. Ditinjau dari sudut etimologi, kata “karakter” atau dalam bahasa Inggris disebut “character” berasal dari kata Yunani “charassein”Webster’s New World Dictionary of the American Language diartikan sebagai “pola perilaku moral individu.” Oleh karena itu, pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai upaya membentuk pola perilaku moral individu yang baik lewat proses berkesinambungan. yang berarti “mengukir.” Dari arti kata tersebut muncullah konsep karakter yang oleh kamus

Pendidikan karakter yang paling utama sejatinya diberikan kepada seorang anak, sejak usia dini, dalam institusi pendidikan yang paling kecil namun berperan paling penting, yaitu keluarga. Dalam lingkup keluarga, seorang anak akan dibentuk karakter atau pola perilaku moralnya oleh orang tua yang terdiri dari ayah dan ibu. Selain keluarga, ada institusi pendidikan lain yang bisa dilibatkan oleh orang tua untuk menanamkan karakter yang baik dalam diri anak-anak mereka. Institusi pendidikan yang dimaksud adalah sekolah. Sebagai institusi pendidikan formal, sekolah mulai dari jenjang pendidikan awal hingga jenjang pendidikan tinggi berkewajiban untuk membentuk karakter setiap peserta didiknya. Hal ini dikarenakan sekolah merupakan partner orang tua dalam mendidik anak-anaknya.

Bila sekolah diberikan peranan juga untuk membentuk karakter setiap peserta didiknya, pertanyaan yang harus diajukan adalah, “Tahap-tahap apakah yang harus dicapai oleh peserta didik dalam pendidikan karakter yang diterimanya di sekolah?” Secara sederhana, ada tiga tahapan penting yang harus dicapai oleh setiap peserta didik agar mampu menjadi pribadi yang berkarakter baik dalam hidupnya. Tahap-tahap tersebut adalah knowing good (mengetahui yang baik), feeling good (merasakan yang baik), dan doing good (melakukan yang baik).

Ketiga tahapan tersebut harus dicapai seluruhnya oleh setiap peserta didik dan tidak bisa diabaikan salah satunya. Namun, dalam banyak praktek di sekolah-sekolah yang terjadi adalah sebaliknya. Peserta didik, dalam hal ini adalah siswa, hanya sampai pada tingkatan yang paling dasar dari pendidikan karakter, yaitu knowing good. Dengan kata lain, karakter yang baik baru sebatas teori dalam kepala mereka. Siswa mengerti tentang kualitas karakter yang baik seperti kejujuran, ketaatan, tanggung jawab, dan lain sebagainya, tapi hal tersebut tidak meresap di dalam hati sehingga siswa tidak mampu merasakan, memiliki keinginan, apalagi melakukan kualitas karakter tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. Tidak heran jika kita masih menjumpai siswa antar sekolah yang terlibat tawuran, siswa yang terjerumus dalam pemakaian narkoba, siswa yang bolos sekolah, siswa yang terlibat dalam pergaulan bebas, siswa yang mengucapkan kata-kata kasar kepada guru bahkan berani menganiaya gurunya sendiri. Oleh karena itu, pendidikan karakter tidak cukup hanya menyentuh akal pikiran tapi juga hati setiap peserta didik agar mereka mampu menghayati dengan benar dan pada akhirnya mengambil keputusan untuk melakukan serta memiliki karakter yang baik dalam hidupnya.

Demi tercapainya pendidikan karakter yang berhasil di sekolah, tidaklah logis jika tuntutan itu hanya dialamatkan pada peserta didik. Tanggung jawab yang seharusnya lebih besar lagi justru terletak di pundak kita, para guru, karena bagaimana pun setiap peserta didik atau siswa yang kita bina akan melihat contoh nyata pelaksanaan karakter yang kita ajarkan tidak lain dari perilaku maupun perkataan kita sehari-hari. Oleh sebab itu, guru harus menjadi teladan atau pelaku pertama dari karakter yang diajarkan kepada setiap anak didiknya.

Selain keteladanan, guru juga harus menjalin relasi yang baik dengan orang tua peserta didik. Hal ini penting agar guru dapat bekerja sama dengan orang tua untuk memantau kekonsistenan perkembangan karakter peserta didik baik di sekolah maupun di rumah. Bisa terjadi suatu situasi di mana seorang peserta didik berkarakter baik di sekolah tetapi ketika siswa berada di rumah hal sebaliknyalah yang terjadi. Seorang siswa bisa menjadi anak yang sangat patuh terhadap guru di sekolah, tetapi menjadi anak yang sangat memberontak terhadap orang tua di rumah.

Untuk mencegah hal tersebut, guru dan orang tua harus saling bertukar informasi tentang perkembangan karakter anak didik. Kuesioner adalah cara sederhana yang dapat digunakan oleh guru untuk mendapatkan informasi dari orang tua tentang perkembangan karakter anak didiknya di rumah. Kuesioner tersebut berisikan pertanyaan-pertanyaan sederhana berkaitan dengan karakter yang dipelajari anak di sekolah dan orang tua bertugas untuk memberikan jawaban dalam kaitan pelaksanaan karakter tersebut oleh anak di rumah. Informasi dari orang tua yang didapat oleh guru dapat dijadikan salah satu pertimbangan untuk memberikan penilaian terhadap perkembangan karakter anak didik yang bersangkutan. Di samping orang tua, guru juga dapat meminta setiap peserta didiknya untuk menilai perkembangan karakter temannya satu sama lain. Dengan menggabungkan informasi dari orang tua, siswa, maupun dari guru sendiri maka penilaian perkembangan karakter yang diberikan oleh guru kepada setiap peserta didiknya akan lebih obyektif.

Bila pendidikan karakter di sekolah dapat berjalan sebagaimana mestinya, setiap peserta didik bukan hanya berkembang dalam hal perilaku moral atau karakternya saja tetapi berdampak juga pada perkembangan akademisnya. Pernyataan ini didasari pada dua alasan. Pertama, jika program pendidikan karakter di sekolah mengembangkan kualitas hubungan antara guru dan anak didik, serta hubungan antara anak didik dengan orang lain, maka secara tidak langsung akan tercipta lingkungan yang baik untuk mengajar dan belajar. Kedua, pendidikan karakter juga mengajarkan kepada siswa tentang kemampuan dan kebiasaan bekerja keras serta selalu berupaya untuk melakukan yang terbaik dalam proses belajar mereka (Thomas Lickona, 2004).

Setelah melihat pentingnya dan juga manfaat yang bisa diperoleh dari pendidikan karakter di sekolah, alangkah baiknya jika setiap jenjang sekolah yang ada di Indonesia menjadikan pendidikan karakter sebagai salah satu strong point atau pilar kekuatan sekolah. Apalagi, saat ini sekolah lebih leluasa untuk menyusun kurikulumnya sendiri. Namun, untuk mewujudkannya diperlukan komitmen bersama yang kuat baik dari pihak sekolah (guru), orang tua, dan siswa yang bersangkutan.

(Joseph Heryawan)

Share this entry