Dunia transportasi dewasa ini sudah berkembang sedemikian pesat. Perkembangan tersebut salah satunya dipicu oleh sistem navigasi yang semakin maju. Navigasi (diambil dari bahasa Inggris Navigation) berasal dari bahasa Latin ‘navis’ dan ‘agere’. Navis atau nafs dalam bahasa Yunani artinya kapal, sedangkan agere berarti bergerak menuju. Sehingga arti dari kata navigasi secara umum adalah suatu kapal yang bergerak dari satu tempat menuju ke tempat tujuan. Kalau begitu yang pertama kali menemukan sistem navigasi tentulah orang Yunani? Ternyata bukan.

Sistem navigasi purba pertama kali ditemukan oleh orang Mesir kuno. Sungai Nil yang arusnya pelan dan tidak bergelombang, serta pemandangan di sekitar sungai yang indah meyakinkan orang Mesir untuk membuat kapal dari rumput yang dianyam sedemikian rupa, lalu menjadi kapal yang indah, untuk berlayar di sepanjang sungai itu. Kapal di masa itu ramai dipergunakan sebagai alat transportasi, mencari ikan, atau sekadar hiburan saja. Dari sinilah sistem navigasi sederhana berawal. Akan tetapi ekspedisi kapal laut dengan jumlah besar, megah, dan penggunaan alat navigasi yang terlengkap pada masa itu adalah bangsa China.

Pada tahun 1405-1433, Dinasti Ming yang ketiga, yakni Kaisar Zhu Di mengutus para pelaut ulungnya untuk berlayar ke seluruh dunia dengan kekuatan armada lima kapal besar. Masing – masing kapal memiliki berat 1.500 ton, panjang 120 meter dan mampu mengangkut 7.000 penumpang. Total semua awak kapal adalah 20.000, termasuk pelaut, tentara China, kartografer (ahli pembuat peta), peralatan, cendera mata, serta perbekalan.

Ekspedisi ini dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho yang termasyur itu. Cheng Ho menggunakan sistem navigasi yang sangat akurat. Mereka telah mampu membuat Compass Rose (alat penunjuk arah magnetis), Theodolite (sebuah alat dengan teleskop yang berputar untuk mengukur sudut vertikal dan horisontal), serta peralatan untuk sistem navigasi perbintangan (Celestial Globe Navigation ).

Mereka juga memanfaatkan pola bintang Salib Selatan (The Southern Cross ) sebagai sarana penunjukan arah. Tujuan ekspedisi ini adalah untuk mempromosikan perdagangan China serta memperluas pengaruh China ke seluruh dunia. Di samping itu juga untuk membuat peta daratan dan lautan di seluruh dunia. Pembuatan peta benua Afrika, Amerika, Asia, Australia, sebagian Eropa, bahkan Antartika dimulai dari ekspedisi tersebut. Jadi Laksamana Cheng Ho-lah yang pertama kali menemukan benua Amerika. Ekspedisi pelayaran Christopher Columbus terjadi 87 tahun kemudian, yakni th 1492. Peta yang dipakai Columbus adalah hasil buatan Cheng Ho yang telah dimodifikasi.

Berdasarkan kisah di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang dapat sampai ke tempat di manapun di dunia ini yang ingin dituju, jika ia memakai peralatan navigasi yang tepat dan akurat, sesederhana apapun peralatan tersebut. Dalam hidup ini, sebagian besar di antara kita memiliki tujuan yang ingin dicapai. Tujuan tersebut bukan dalam pengertian ‘tempat secara fisik’, namun berupa cita-cita, mimpi, goal atau apapun sebutannya.

Namun untuk mencapai tujuan hidup tersebut, diperlukan peralatan navigasi yang tepat untuk menuntun dan menjaga kita di arah yang benar. Peralatan navigasi apakah yang dibutuhkan untuk menolong kita mencapai tujuan hidup? Berikut adalah analogi peralatan navigasi tersebut:

1. Firman Tuhan

Mazmur 119:105 mengatakan “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.” Firman Tuhan adalah peralatan navigasi utama dalam mencapai tujuan hidup. Apakah tujuan hidup yang ingin kita capai itu benar atau layak untuk dicapai patokannya adalah firman Tuhan dan itu akan menentukan juga bagaimana cara kita mencapainya. Apa yang bagi kita baik untuk dicapai belum tentu selaras dengan apa yang menjadi kehendak Tuhan dalam hidup kita. Dalam hal ini, firman Tuhan menjadi penuntun bagi kita untuk menyelaraskan apa yang menjadi kehendak Tuhan dan apa yang menjadi tujuan hidup kita.

Matt Emmons adalah atlet menembak yang diandalkan oleh negaranya Amerika untuk mendulang medali emas di Olimpiade Athena tahun 2004. Harapan itu tercapai dengan satu medali emas yang telah diraihnya dalam salah satu nomor perlombaan. Kesempatan berikutnya datang untuk mendapatkan medali emas yang kedua ketika ia masuk babak final untuk nomor the 50 m rifle three positions. Peluang untuk menang begitu besar karena setelah beberapa tembakan ia memimpin pengumpulan angka di antara para pesaingnya. Tinggal satu tembakan terakhir yang akan mengantarkan Emmons untuk merengkuh medali emas keduanya.

Dengan penuh konsentrasi dan menjaga ketenangan, ia pun mengarahkan senapannya ke arah targat yang dituju. Boom! Letusan senapan pun terdengar. Sejenak Emmons memperhatikan layar monitor, namun tidak tampak sama sekali bekas peluru yang menembus target. Setelah memperhatikan dengan seksama, ternyata ia telah menembak target yang salah. Target yang ia tembak bukanlah miliknya namun target milik atlet lain yang ada di sebelahnya, yaitu Christian Planer seorang atlet menembak dari Austria. Dengan demikian, tidak ada poin yang ia dapatkan dan hal itu berimbas pada peringkatnya yang melorot drastis dari urutas teratas menjadi urutan terbawah. Sirnalah kesempatan Emmons untuk menambah perbendaharaan medali emas bagi negaranya.

Pengalaman Matt Emmons tersebut menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Terkadang dalam hidup ini kita merasa bahwa tujuan hidup yang ingin kita capai sudah tepat, namun sesungguhnya keliru. Akibatnya, ada konsekuensi yang tidak semestinya kita tanggung. Oleh sebab itu, gunakan firman Tuhan untuk memastikan ketepatan tujuan hidup kita.

2. Perencanaan

Pepatah lama mengatakan “Failing to plan means planning to fail” (gagal merencanakan sama saja dengan merencanakan kegagalan). Kalimat bijak tersebut ingin mengajarkan kepada kita bahwa memiliki tujuan hidup yang besar saja tidak cukup jika tidak diimbangi adanya perencanaan yang matang. Seperti seorang jenderal yang memimpin pasukannya dalam pertempuran, pasti tujuan akhir yang ingin diraih adalah kemenangan atas musuhnya. Namun, semuanya itu tidak pernah bisa tercapai jika tidak ada strategi perang atau perencanaan matang untuk mengalahkan musuh. Lukas 14:28-30 menegaskan tentang hal ini dengan mengatakan, “Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya.”

Setiap orang yang memiliki tujuan hidup harus dapat membuat langkah-langkah pencapaian yang tepat dan terukur. Kita harus bertanya dalam diri sendiri berapa lama waktu yang diperlukan untuk mencapai tujuan hidup tersebut, sumber daya apa yang diperlukan, siapa saja yang perlu dilibatkan, dan sederet pertanyaan lain yang akan membuat rencana hidup kita semakin tajam. Semakin baik perencanaan yang kita buat, maka semakin besar kemungkinan tujuan hidup tersebut untuk tercapai. Dalam merumuskan perencanaan tersebut, kita tidak bisa mengabaikan peran serta Tuhan. Hikmat yang Ia berikan akan menolong kita untuk dapat membuat perencanaan dengan baik.

3. Karakter

Jika tujuan hidup yang sesuai kehendak Tuhan sudah dimiliki dan perencanaan sudah dibuat, satu hal lagi yang diperlukan adalah karakter. Tentunya, perencanaan yang sudah dibuat akan ditindaklanjuti dengan tindakan. Setiap orang akan berjuang sekuat tenaga untuk mencapai tujuan hidupnya. Namun, dalam usaha mencapai tujuan hidup ada kalanya terdapat hambatan baik dari dalam maupun luar diri sendiri. Belum lagi, rentang waktu yang panjang dalam mencapai tujuan hidup menjadi beban tersendiri.

Oleh sebab itulah, diperlukan karakter pribadi yang kokoh untuk dapat bertahan menghadapi rintangan dan melalui semuanya itu dengan baik. Dalam hal ini karakter yang dimaksud adalah ketekunan atau perseverance. Ketekunan akan menjadi daya tahan yang luar biasa dalam menghadapi rintangan sekaligus menjadi ujian terhadap kesungguhan kita dalam mencapai tujuan hidup. Roma 5:4 mengatakan, “dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan.” Sesungguhnya,apa yang menjadi dasar ketekunan kita? Dasar dari ketekunan kita adalah iman. Dengan iman kita dapat percaya bahwa sekalipun belum melihat dengan mata, apa yang kita tuju atau harapkan dalam hidup ini akan terwujud. Ibrani 11:1 menegaskan akan hal ini, “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.”

Share this entry