Papa…” sepasang tangan yang kuat memelukku dan sedetik kemudian dia berkata, “Papa pasti kangen sama aku,” dan aku balik bertanya, “Kok tahu?” “Karena aku juga kangen sama papa'”. Sementara kami bercakap-cakap beberapa pasang mata memandangku dengan heran. Mereka bertanya, “Mr, itu siapa?

Anaknya Mr. ya, kok sudah besar Pertanyaan itu tidak sempat kujawab karena kami terlibat dalam percakapan yang cukup seru. Seperti seorang ayah dan anak yang sudah lama tidak bertemu. Hari itu aku mendapatkan “surprise” dari seorang murid. Surprise karena aku tidak pernah mengajar dia bahkan jadi wali kelasnya pun aku tidak pernah. Bukan pemberian yang dia berikan yang menjadi surprise, tapi. kedekatan yang terbentuk dari perhatian, kasih, nasihat, senyum, pelukan, sapaan hangat yang ditabur setiap harinya.

Satu tahun berlalu sejak aku mengenal dia. Seorang murid yang aktif, mudah berkeringat, dan muka yang kemerahan apabila dia

menghampiriku setelah berolahraga atau setelah terkena sinar matahari. Ada saja yang dia berikan kepadaku mulai dari permen, krupuk, kripik, kue kering, roti, mi, tempat tusuk gigi, t-shirt warna putih yang menjadi warna kesukaanku, kaos olahraga, dan satu lagi yang tidak dapat kunilai dengan uang yang selalu menimbulkan rasa kangen yaitu dia tidak pernah lupa memberikan senyum dan pelukan serta sapaan, “Hai Pa.”.

Masih terngiang di telingaku hari itu dia duduk di sebelahku dan berkata : “Mr. jadi papaku saja, ya?” “Lho, kan kamu sudah punya papa,” begitu balasku. Balik lagi dia berkata, “Ya memang, tapi aku pingin Mr. jadi papaku”. Aku bertanya kembali, “Mengapa?” sambil memelukku, dia berkata di telingaku “Karena Mr. baik” Beberapa saat pelukan itu dilepas dan aku menjawab, “Oke, baik tapi kalau di sekolah Iho ya, kalau di rumah ya ndak.” Kembali dia memelukku sambil berkata, “Thank you Mr. sudah mau jadi papaku, jadi mulai sekarang aku panggil Mr. Papa”. Sejenak kemudian dia bermain kembali bersama teman-temannya. Anak itu kini telah menginjak remaja dan tidak menjadi murid SD lagi. Dia sudah di SMP saat aku merangkai tulisan ini.

Setiap kali aku mengingat kejadian itu, banyak yang berkecamuk dalam diriku. Rasa rindu, rasa haru, bahagia, dan sejuta rasa suka yang membuatku selalu bersemangat untuk menjadi guru. Bukan sekadar menyelesaikan tugas mengajar hari ini, namun lebih dari itu; menabur senyum, memberikan pengharapan, memancarkan kasih, memberikan damai, dan rasa nyaman bagi setiap murid yang bertemu denganku.

Jujur, kali pertama mendengar kata “guru” yang terbayang dalam pikiranku adalah pribadi yang agak tua, seorang yang bijaksana, santun, dihormati, bahkan ditakuti. Berdiri di depan kelas dengan memegang penggaris kayu yang panjang dan buku yang siap untuk diajarkan kepada murid. Tidak pernah pula terbersit dalam pikiranku untuk menjadi seorang guru karena menurutku, guru adalah seorang yang tidak dapat leluasa mengekspresikan dirinya.

Hampir tidak percaya rasanya kini aku menjadi seorang guru. Membuat perangkat pembelajaran, membuat laporan hasil belajar, menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh murid, dan masih banyak lagi. Belum waktu-waktu di mana aku mengoreksi tes dan penilaian lainnya sampai selepas jam kantor. Rasanya waktu ini berlalu begitu cepat. Banyak yang harus diselesaikan dan cukup melelahkan. Ingin rasanya untuk menghakhiri semua ini. Namun, suara itu memanggilku kembali “Papa… aku kangen.” Suara yang membuatku kembali merenung… apa sih sebenarnya seorang guru itu. Kata orang, guru itu digugu lan ditiru artinya diteladani dan ditiru. Yang lain berkata, guru itu pahlawan tanpa tanda jasa. Ada juga yang berkata, guru itu laksana petani yang memiliki harapan beşar bahwa benih yang ditaburnya itu bertumbuh dengan baik dan menghasilkan buah meskipun tidak tahu kapan buah itu muncul. Juga ada yang berkata, guru itu salah satu profesi. Tidak ada yang salah dari apa yang dikatakan orang tentang guru.

 

Buatku, guru adalah kesempatan.

Kesempatan untuk menjadi teladan.

Kesempatan untuk menaburkan senyum dan harapan.

Kesempatan untuk membangkitkan semangat meraih masa depan.

Kesempatan untuk berbagi kasih dengan sesama.

Buatku, guru adalah anugerah.

Anugerah untuk menjadi pendamai.

Anugerah untuk tempat berkeluh kesah.

Anugerah untuk menyiapkan jalan yang akan dilalui oleh calon-calon pemimpin masa depan.

Anugerah untuk menjadi seorang “papa”.

Buatku, guru adalah panggilan.

Panggilan untuk merombak yang salah.

Panggilan untuk membangun yang benar.

Panggilan untuk menoreh kan nama Sang Pencipta dalam diri setiap insan.

Panggilan untuk dunia yang membutuhkan jawaban.

Bagiku, guru itu tidak terbatas.

Tidak terbatas oleh waktu.

Tidak terbatas oleh usia.

Tidak terbatas oleh tempat.

Tidak terbatas oleh status sosial.

Tidak terbatas oleh buku.

 

Ah… pikiranku kembali melayang jauh.. Hmm..? Jadi apa ya anak ini kelak? Kalau suatu saat nanti, aku mendengar dia meraih gelar kesarjanaan dan menjadi mahasiswa terbaik di kampusnya.”

Mungkin aku tidak sedang berdiri bersamanya… Namun, aku akan tetap tersenyum bahagia… Mungkin dia tidak menghampiriku lagi dan memberikan pelukan sambil berkata, “Papa.. aku kangen” karena dia sudah dewasa dan menjadi insan yang kuat, namun aku tetap tersenyum bahagia…

Mmm… mungkin kelak dia berada ribuan kilometer dari tempatku berada dan dia menjadi seorang pemimpin perusahaan yang besar dan hebat… aku tetap tersenyum bahagia…

Atau, dia kelak menjadi pemimpin negeri ini.. aku tetap tersenyum bahagia…

Senyum bukan karena dia memanggilku “Papa”

Senyum bukan karena kaos itu masih kusimpan dengan rapi…

Atau, senyum bukan karena dia pernah memberikan senyuman hangat dan pelukan..

Namun, senyum yang disertai rasa syukur kepada Sang Pencipta, yang telah memberikan kesempatan kepadaku untuk menuliskan nama Sang Pencipta di hati setiap insan kecil yang kutemui setiap hari. Senyum yang disertai rasa kagum kepada Sang Kuasa.. yang telah memberikan hidup kepadaku untuk menjadi seorang guru. Senyum laksana seorang pahlawan yang telah menyiapkan busur dan anak panahnya untuk kemudian melepaskan anak panah itu pada waktunya dan menuju ke sasaran yang telah ditentukan oleh-Nya.

Jadi apa anak ini kelak? Aku tidak dapat menjawabnya sekarang dan aku tidak mau berhenti pada lamunan. Hanya keyakinan yang disertai dengan doa dari hati yang tulus yang dapat menjawabnya. Anak ini akan jadi anak yang kuat yang melakukan kehendak Sang Khalik pada zamannya.

Saat kakiku melangkah meninggalkan gedung yang megah, tempatku menaburkan senyum dan harapan setiap hari kepada insan-insan kecilku, aku menjalaninya dengan kepastian dan kerinduan yang dalam. Kepastian akan adanya pemimpin-pemimpin yang akan memimpin negeri ini dengan hati yang bersih. Kepastian akan adanya pemegang kendali yang akan mengendalikan roda bumi ini menuju ke arah yang pasti. Dan kerinduan untuk melihat insan-insan kecilku tetap tersenyum menyambut masa depannya, tentunya masa depan yang cerah. Amin.

 

David Yonathan, S.Th.

Quote : Me to YOU.

Pesan : Jadilah manusia yang paling berbahagia di muka bumi. 

Share this entry